Alumnus Teknik Kimia dan Teknik Elektro di Shizouka University Jepang itu juga sudah membuktikan, medan listrik bisa menghambat sel kanker. Gelombang listrik berdaya tinggi, akan menimbulkan reaksi tertentu pada sel kanker. Itu sudah menjadi terapi di luar negeri. Tapi, daya listriknya mencapai 70 volt. Ia lalu putar otak.
“Berarti gelombang listrik berdaya rendah juga bisa menghasilkan efek jika dipaparkan secara terus menerus pada sel-sel kanker yang sedang membelah diri.” pikirnya
Ia sebenarnya sudah mencoba pikirannya itu. Gelombang listrik dipaparkan pada sel kanker in vitro, sel kanker yang ditumbuhkan di laboratorium. Hasilnya: perkembangan sel kanker tertahan. Rupanya, gelombang listrik mengacaukan pembelahan sel kanker. Mereka bisa kacau, bahkan hancur.
Warsito lalu nekad mengujicobakan alatnya untuk Suwarni (kakaknya yg menderita kanker payudara). Warsito pun terkejut. Hasilnya di luar dugaan. Suwarni membaik setelah alat serupa rompi bergelombang listrik itu dipakai selama sebulan penuh. Ia memeriksakan sel-sel kankernya ke dokter, dan hasilnya normal. Padahal, ia didiagnosis menderita kanker payudara stadium 4.
Awalnya Warsito tak percaya. Ia menyangka hasil baik itu hanya kebetulan semata. Ia meminta Suwarni kembali memakai rompi ciptaannya. Pemindaian sel kanker kali kedua, dilakukan sebulan kemudian. Ajaib. Sel-sel kanker Suwarni menghilang.
Temuan Warsito itu lalu makin berkembang. Dari mulut ke mulut, rompi ajaib buatan pria asal Karanganyar, Solo itu mulai tenar. Hingga pertengahan 2011, sudah ada empat orang yang memakainya.
Masing-masing mengeluhkan sakit kanker rahim, kanker serviks, kanker payudara, dan kanker paru-paru. Dengan pemakaian alat secara teratur, benjolan mereka mengempis. Sakit pun hilang. Alat terapi Warsito juga dipakai di sejumlah negara seperti Taiwan, China, Malaysia, India, dan Singapura.
Keampuhan alat buatan Warsito kian melanglang buana. Rompi itu kemudian mendapat sebutan “Bra Kanker”. Sebab, ia digunakan melekat pada tubuh seperti bra. Di dalam ‘bra’ itu, ada elektroda yang didapat dari dua buah baterai kering berukuran kecil.
Warsito juga mulai mengembangkan alat lain. Ia membuat ‘helm’ untuk penderita kanker otak. Sambutan positif mengalir saat Warsito hadir di konferensi sains di San Diego. Orang-orang tak percaya alat secanggih itu berasal dari Indonesia.
Lebih jauh lagi, Warsito juga menciptakan alat untuk terapi kanker paru-paru dan abdomen. “Alat terapi, sudah ada untuk semua jenis kanker. Tapi alat diagnosis baru dua, kanker payudara dan kanker otak,” Ia bahkan sudah mematenkan alat-alat buatannya.
------------------------
TEKNIK TERAPI
------------------------
Mulanya harus melakukan CT Scan di rumah sakit untuk melihat posisi sel kanker dalam tubuhnya. Tujuannya, menentukan dari arah mana elektroda penghasil listrik akan menembak.
“Kalau posisi menembaknya tidak tepat, tidak akan berpengaruh. Tidak akan ada interaksi antara gelombang listrik dari alat dengan gelombang listrik yang ada di sel-sel kanker.”
Setiap pasien yang datang, dibuatkan alat terapi khusus sesuai kondisi sel-sel kanker di tubuhnya. Sebulan sekali, pasien itu dievaluasi. Jika kondisi sel kanker berubah, dibuatkan alat terapi baru. “Makanya, alat terapi tidak bisa dipakai sembarangan.”
Setiap hari, ia bisa membuat sampai 20 alat terapi. Karena itu, Warsito mementingkan mekanisme kontrol. Protokol pembuatan alat dan pengobatan pasien, harus diverifikasi dengan benar. Jika sudah ada standar untuk mekanisme itu, bukan tak mungkin ia akan terbuka untuk produksi massal.
Jika itu terjadi, Warsito memastikan harga alat terapinya akan lebih murah. “Tapi yang mahal sebenarnya bukan alatnya. Melainkan para ahli anatomi yang merancang bentuk alat itu. Mereka yang menentukan posisi alat-alat terapi.” Untuk itu, butuh pula sistem komputasi yang tinggi.
Lalu benarkah alat terapi Warsito itu bisa menjadi jawaban praktis mengenyahkan kanker? Warsito mengakui, tak semua kanker bisa disembuhkan oleh alatnya. “Saya bisa membedakan mana yang bisa disembuhkan, dan tidak,” ujarnya.
Tapi yang penting, Warsito punya niat mulia: memberi harapan sembuh bagi penderita kanker. Tentu penemuan alat itu menjadi kabar baik. Terutama, bagi para pasien yang tak kuat lagi membayar ongkos kemoterapi.
-------------------------------
PENGHENTIAN RISET
-------------------------------
“Kita sudah undang beliau berkali-kali untuk membicarakan risetnya, tapi dia tidak pernah datang.” ujar Untung (Sekjen Kemenkes) seperti yang ditulis Republika.co.id (1/12).
Karena penolakan undangan itu, pihaknya pun menilai penelitian Warsito tidak benar. Sebelumnya, pengembangan riset yang dilakukan Warsito Purwo Taruno selama ini harus dihentikan oleh pemerintah melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan (Balitbang Kemenkes). Menurut Warsito, pencabutan izin ini dilakukan karena temuannya dianggap tidak berbasis ilmiah.
“Sesuatu yang baru sudah pasti akan mengundang kontroversi. Adanya kontroversi itu sendiri justru karena kita mencoba sesuatu yang baru. Tanpa mencoba sesuatu yang baru, tak ada yang akan mengubah nasib kita.” kata Warsito
Ilmuwan Warsito Purwo Taruno menegaskan selalu memenuhi undangan apabila diminta Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Bahkan, ia mengaku bertemu Kemenkes pada Agustus lalu.
Menurut Warsito, pada Agustus lalu sempat membahas biaya riset dengan Kemenkes. “Pertemuan terakhir terjadi di bulan Agustus 2015, membahas biaya milyaran yang harus kami keluarkan untuk melakukan uji validasi ECVT dengan Kemenkes.” ujar Warsito melalui pesan singkat kepada republika.co.id, Rabu (2/12).
Dengan adanya anggapan tersebut, Warsito menilai aneh. “Aneh kalau basis penilaian ilmiah atau tidaknya sebuah penelitian dilihat dari penolakan undangan yang saya tidak pernah terima.” ungkap dia.
Warsito Purwo Taruno menegaskan pencapaian penelitian Electro-Capacitive Cancer Therapy (ECCT) untuk pengobatan kanker sudah dibuktikan pada riset peneliti lainnya.
Dijelaskannya, pada 2015, dokter Sahudi dari Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga (Unair) telah melakukan riset dan menemukan mekanisme kematian sel dengan ECCT. Hasilnya dinyatakan bahwa alat itu secara secara ilmiah bisa membunuh sel kanker.
Selain itu, warsito mengungkapkan, Kepala Pusat Studi Satwa Primata Institut Pertanian Bogor (PSPP IPB), Diah Iskandriati juga telah melakukan penelitian serupa. Penelitiannya menunjukkan bahwa terapi ECCT dinilai efektif dalam mengurangi tingkat proliferasi sel kanker payudara dalam pengaturan kultur. Ini serupa dengan mengurangi potensi yang sama dalam tumor payudara padat dalam model hewan.
“Dua institusi penelitian tersebut memiliki kredibilitas yang tidak perlu diragukan lagi.” kata Warsito.
Simpati disampaikan Andika Prajana, Dosen UIN Ar Raniry Banda Aceh. "Inilah Indonesia yang birokrasi dan standar prosedurnya berbelit-belit. Bagaimana kami mengembangkan keilmuan dan meneliti kalau kami selalu dipersulit. Salut untuk guru saya Warsito Purwo Taruno, penemu besar yang disia-siakan Indonesia." tulisnya.
Source
* http://sorot.news.viva.co.id/news/read/458950-pemusnah-kanker-cara-warsito
0 comments :
Posting Komentar