Pada dasarnya, hukum punya
tujuan yang sangat mulia, yaitu untuk menjaga manusia dari berbagai
kedzaliman, dan memastikan setiap manusia mendapatkan balasan yang
setimpal, baik untuk setiap kejahatan maupun kebaikan yang dilakukan. Dalam
Islam hal ini berarti mempermudah hisab (perhitungan) di hari akhir.
Namun dalam perjalanannya, manusia mulai menggunakan hukum ini justru
sesuai dengan kepentingannya nafsunya sendiri. Seperti yang sering kita jumpai
di televisi, banyak pengacara yang menyodorkan pasal-pasal berlapis kepada
orang lain hanya untuk melindungi kepentingannya di depan umum. Dan percayalah,
kita bisa melihat karakter seseorang dari kata-kata yang dia ucapkan. Apakah
yang berbicara logikanya? atau dengan emosinya? atau ada kepentingan pribadi
yang lain?
Penulis sendiri memang membawa kepentingan Islam. Karena memang seperti itulah tugas seorang muslim, membela kepentingan sesama muslim lainnya. Seperti halnya seorang nasrani membela kepentingan nasrani yang lain jika mereka teraniaya. Kita hanya melakukan apa yang harus kita lakukan jika berada di posisi kita saat ini. Namun apakah perlu hingga menjatuhkan orang lain dan meninggalkan dendam di masa yang akan datang?
Sungguh ironi, ketika justru media masa lah yang memicu konflik dari kalangan rakyat kecil. Media masa yang seharusnya mendidik masyarakat agar lebih dewasa dalam bersikap justru menyulut permusuhan, dan menyebarkan begitu banyak kebencian-kebencian. Tidak heran jika bangsa Indonesia begitu mudahnya diadu domba.
Ada hal-hal yang harusnya bisa dimaklumi karena situasi yang tak terkendali. Seperti masyarakat yang mengkritisi pemerintah karena kemiskinan, namun tidak lantas membenarkan radikalisme. Terlebih di Indonesia yang bukan berada dalam situasi konflik peperangan.
Orang-orang barat mungkin menganggap Islam terlalu mengekang & bahkan memperbudak hak-hak kaum perempuan dalam keluarganya. Kebencian mereka semakin bertambah ketika kaum pria sangat keras dalam menjunjung nilai-nilai tersebut. Namun hal ini tidak lain karena Islam menjunjung tinggi nilai-nilai bahwa setiap kepemimpinan dalam keluarga akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat.
Hal ini mungkin tidak dipahami oleh tentara Israel, dan mungkin juga kebanyakan orang-orang barat, yang tidak meyakini adanya hari akhir (hereafter). Pada awalnya, tentara Israel menganggap diri mereka sebagai pahlawan penegak hukum, untuk membebaskan tanah Palestina dari perbudakan pemerintahan diktator. Hal yang sama terjadi hampir di seluruh penjuru negara-negara Timur Tengah. Namun ketika diberikan wewenang tak terbatas dengan alasan situasi konflik, tiba-tiba mereka bisa menjadi liar dan melampaui batas.
Banyak anak-anak tak berdosa dibunuh, wanita dilecehkan di depan umum, para orang tua diperlakukan semena-mena, dan lain sebagainya.
Memang tidak bisa kita pungkiri bahwa perbudakan, apalagi terhadap terhadap perempuan, di negara-negara Arab masih terbilang tinggi. Kita lihat saja begitu banyak tenaga kerja wanita kita yang diperlakukan semena-mena di tanah orang. Dan karena tidak ada dukungan, justru para TKI kitalah yang dihukum mati. Padahal mana ada orang yang berbuat jahat kepada majikannya sendiri kecuali dia didzalimi terlebih dahulu?
Namun yang perlu sama-sama kita ingat perbudakan sama sekali bukan budaya Islam. Perbudakan telah ada jauh sebelum Islam datang. Islam justru datang untuk membebaskan manusia dari berbagai macam perbudakan, dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan.
"Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan Neraca Keadilan. Supaya kamu jangan melampaui batas dalam neraca itu. Tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu." (Ar-Rahman.7-9)
Dalam hukum Islam sendiri kita mengenal qisas. Qisas berarti pembalasan (memberi hukuman yang setimpal), mirip dengan istilah Tarik Baleh seperti yang pernah penulis paparkan sebelumnya. Dalam kasus pembunuhan, hukum qisas bisa berarti memberikan hak kepada keluarga korban untuk meminta hukuman mati kepada pembunuh.
Qisas yang selama ini kita ketahui terkadang masih dianggap sebagai sesuatu yang sangat angker, menakutkan, dan tidak manusiawi. Padahal, Allah Subhanahu wa Ta’ala mensifatkan qisas dalam firman-Nya, “Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, wahai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (Al-Baqarah.179).
Dan dalam praktiknya, hukum qisas menjadi sangat tegas, namun bisa menjadi sangat fleksibel. Membutuhkan para penegak hukum dan hakim yang adil & bijaksana dalam pengambilan keputusan. Tanpa itu, hukum qisas hanya akan disalahgunakan oleh segelintir orang untuk menjatuhkan lawan politiknya.
Dari sini seharusnya kita bisa menyimpulkan juga bahwa kaum hawa yang terlalu menjunjung tinggi perasaannya harus mengalah dengan pria dalam masalah ini. Namun, lagi-lagi dunia sudah mulai terbolak-balik. Untuk beberapa kasus tertentu, saat ini kaum hawa bisa jauh lebih dewasa dalam bersikap, dibanding dengan pria sendiri. Artinya sudah terjadi pergeseran nilai dalam kehidupan kita.
Hukum Islam adalah bentuk ketegasan dari konsekuensi tindakan kejahatan. Apakah orang yang membunuh harus dijatuhi hukuman mati? Bisa iya, jika pembunuhan dengan sengaja & terencana, tapi bisa tidak jika dalam rangka melindungi diri, atau nyawa orang lain. Apakah mencuri harus dipotong tangan? Bisa iya jika sebelumnya kita bisa menjamin adanya hakim yang adil, kesejahteraan yang merata, namun bisa tidak juga jika syarat-syarat tersebut belum terpenuhi.
Bagi yang tidak yakin dengan hari akhir, mungkin hal ini tidaklah terlalu penting : bagi mereka yang terkena hukum Qisas, akan dihapus dosanya dari kejahatan yang dilakukannya..
Sekian. Insya Allah disambung di lain waktu, di lain tulisan. wassalam.
0 comments :
Posting Komentar